Perkembangan wilayah perdesaan (rural) di Kabupaten Sleman
dan Kabupaten Bantul, yang berbatasan dengan pinggiran Kota Yogyakarta,
menjadi wilayah perkotaan (urban) dinilai ‘dipaksakan’. Perkembangan wilayah
pedesaan menjadi perkotaan itu merupakan limpahan dari wilayah perkotaan
Yogyakarta yang terus berkembang.
Konsekuensinya, proses alih fungsi lahan di wilayah pinggiran Yogyakarta ini
untuk menyediakan kebutuhan perkotaan dari lahan pertanian menjadi perumahan,
industri, dan sektor jasa kian tak terelakkan. Seperti wilayah Sleman yang 80
persen telah berubah jadi perkotaan.
“Masyarakat yang tinggal turun-temurun di Yogyakarta terancam menjadi tamu di
daerahnya sendiri,” kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Krisdyatmoko dalam diskusi hasil riset Institute
for Research and Empowerment (IRE) tentang “Ketimpangan Pedesaan dan Perkotaan
di DIY” di Joglo Winasis IRE di Sleman, Rabu, 24 Mei 2017.
Ancaman itu dirasakan riil, lanjut Krisdyatmoko, karena lahan pertanian kian
sempit. Seorang petani kini hanya menggarap lahan dengan luas tak lebih dari
dua ribu meter persegi. Hasil pertanian yang dipanen 3-4 bulan sekali itu hanya
menghasilkan nominal sekitar Rp 2 juta yang tidak cukup menghidupi rumah
tangganya. Di sisi lain, tidak ada kebijakan tata ruang yang melindungi petani
untuk tetap mempertahankan lahannya.
Petani pun terdesak untuk menjual lahannya yang dinikmati oleh pemilik modal
yang mampu membeli dan mengakses. “Petani kerja di sektor non pertanian. Jadi
pengambil sampah,” kata Krisdyatmoko.
Sebaliknya di perkotaan (Yogyakarta), lanjut dia, distribusi pemasukan dari
sektor pendidikan dan pariwisata tidak merata. Bahkan hasil pembangunan hotel,
mal, toko-toko modern lebih banyak dinikmati kalangan elit dan investor yang
tak semuanya dari wilayah DIY. “Akibatnya terjadi capital flight.
Keuntungan dinikmati investor yang entah dibawa ke mana,” kata Krisdyatmoko.
Penjelasan Krisdyatmoko itu menguatkan hasil riset IRE yang dilakukan
Februari-April 2017 lalu. Riset dengan metode kualitatif itu memotret
ketimpangan ekonomi yang mencakup pendapatan dan pengeluaran serta ketimpangan
non ekonomi meliputi pelayanan dasar, yakni administrasi kependudukan, pendidikan,
dan kesehatan.
Menurut Peneliti IRE Rajif Dri Angga, DIY dipilih karena tingkat kemiskinannya
terparah se-Jawa, ketimpangannya tertinggi nasional, dan gap ketimpangan
kemiskinan antar kabupaten tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 menunjukkan
prosentase kemiskinan di Sleman 9,5 persen dan Yogyakarta 8,67 persen yang jauh
meninggalkan Bantul 15, 89 persen, Gunung Kidul 20,83 persen, dan Kulon Progo
20,64 persen. Lokasi riset pun dipilih masing-masing dua desa untuk wilayah
urban dan rural dari empat kabupaten, serta dua kelurahan urban di Yogyakarta.
“Kegiatan ekonomi paling banyak dinikmati masyarakat perkotaan, seperti
Yogyakarta dan Sleman,” kata Rajif menjelaskan penyebab kemiskinan.
Hasil riset lainnya, penyebab kemiskinan juga tak hanya ketiadaan aset.
Melainkan ketidakmampuan masyarakat miskin mengakses pekerjaan di sektor formal
yang memberi pendapatn lebih besar.
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) dari Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY Sangidu Umar pun mengungkapkan, dalam
penyebutan klasifikasi kawasan perkotaan dan pedesaan oleh kementerian dan
kelembagaan pun tidak konsisten. Semisal, dalam UU Penataan Ruang dan UU
Pemerintahan Daerah menyebutkan pedesaan kalau prosentase pertanian dominan dan
perkotaan kalau prosentase pertanian sedikit. Direktorat Perkotaan dan Pedesaan
Kementerian Dalam Negeri menyebut kawasan perkotaan itu kotamadya, sedangkan
pedesaan di bawah kabupaten.
“Akibatnya, program pemerintah untuk kawasan yang dimaksud bisa tidak tepat
sasaran,” kata Sangidu.
Dia mencontohkan wilayah Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman yang berada di
kawasan dalam jalur lingkar atau berbatasan dengan Kota Yogyakarta masuk
kategori kawasan perkotaan. Tetapi program pemerintah yang diterapkan di sana
adalah program pedesaan.
0 komentar:
Posting Komentar